Makna - Pengertian Budaya Demokrasi

Makna (Pengertian) Budaya Demokrasi


A. Makna (Pengertian) Budaya Demokrasi

Seorang ilmuan politik terkenal yang secara mendalam mengkaji demokrasi Robert A. Dahl, mengemukakan bahwa dalam demokrasi terdapat tiga prinsip utama.

1. Kompetisi
Ini berarti dalam demokrasi memberikan peluang yang sama untuk bersaing bagi setiap individu, kelompok dan organisasi (khususnya partai politik) untuk menduduki posisi kekuasaan dalam pemerintah. Kompetisi tentunya berlangsung dalam jangka waktu yang teratur yang tertib dan damai. Dengan kata lain kompetisi itu berlangsung melalui pemilihan umum (untuk Indonesia 5 tahun sekali, di Amerika Serikat 4 tahun sekali) dan dilakukan tanpa adanya tindakan kekerasan.

2. Partisipasi
Maksudnya bahwa dalam demokrasi ada kesempatan yang sama bagi semua orang untuk terlibat dalam pemilihan pemimpin melalui pemilihan yang bebas secara teratur dan terlibat dalam pembuatan dan pelaksanakan kebijakan publik.

3. Kebebasan
Maksudnya dalam demokrasi ada jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi yang dijamin dapat menjadi saluran partisipasi dan berkompetisi.


Demokrasi yang digambarkan oleh Robert A. Dahl tersebut, tampak terbatas sebagai sistem politik. Bapak pendiri negara kita atau proklamator Bung Karno dan Bung Hatta tidak membatasi makna demokrasi terbatas sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai sistem ekonomi dan sistem sosial. Bung Karno memberikan istilah demokrasi yang demikian sebagai “socio democratie”, sedangkan Bung Hatta menamakannya sebagai “demokrasi sosial”.

Dengan demikian di Indonesia demokrasi tidak hanya diterapkan dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam demokrasi ekonomi/ekonomi kerakyatan semua anggota masyarakat tidak hanya turut serta dalam proses produksi dan dalam menikmati hasil-hasil produksi, melainkan juga dalam mengawasi berlangsungnya proses produksi dan distribusi tersebut. Kemudian demokrasi sebagai sistem sosial berarti dalam kehidupan bermasyarakat diakui adanya persamaan kedudukan. Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, antara kelompok mayoritas dan minoritas. Ini berarti dalam masyarakat perlu dihindari sikap dan perilaku yang dapat membentuk hubungan yang berpola Tuan – hamba (feodalisme), maupun sikap dan perilaku yang membeda-bedakan (diskriminatif)  atas dasar perbedaan status sosial, jenis kelamin, suku, ras dan agama.

Di samping itu, perlu diingat bahwa negara Indonesia tercinta memiliki dasar negara yaitu Pancasila. Pancasila yang telah dikembangkan dalam aturan dasar kehidupan bernegara yaitu UUD 1945. Oleh karena itu pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Yang termasuk  pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, misalnya dasar:  Ketuhanan Yang Maha Esa/relegius, kemanusiaan/ hak asasi manusia, persatuan/ pluralisme, perwakilan/langsung, keadilan dan kesejahteraan, dan negara hukum. Ini berarti dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas. Contohnya, ketika melakukan kompetisi, partisipasi dan aktivitas yang mengekspresikan kebebasan tidak dibenarkan berakibat menimbulkan perpecahan atau disintegrasi bangsa, karena hal ini bertentangan dengan dasar persatuan. Atau dengan melanggar peraturan yang berlaku, karena bertentangan dengan dasar negara hukum.


Makna utama demokrasi adalah sebagai sistem politik, makna yang lain adalah sebagai sistem ekonomi dan sistem sosial. Pada  pembahasan budaya demokrasi ini tekanannya dalam makna demokrasi sebagai sistem politik. Oleh karena itu budaya demokrasi dalam hal ini dimaksudkan dalam arti sebagai budaya politik dalam sistem politik demokrasi.

Apa budaya politik itu ? Almond dan Verba ilmuan politik yang telah mendalami budaya politik menyatakan bahwa budaya politik merupakan pengetahuan, sikap dan penilaian terhadap sistem politik menjadi salah satu penentu perilaku politik. Misalnya, seseorang yang kalah dalam pemilihan kepala desa/bupati/wali kota dalam pemilihan secara langsung yang bebas, jujur dan adil,  menerima kekalahan itu dengan tulus. Para calon yang kalah mengakui bahwa pemilihan tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan prinsip demokrasi, yakni adanya persaingan atau kompetisi yang sehat. Perilaku calon yang kalah tersebut, masuk dalam sikap dan perilaku budaya demokrasi. Sebaliknya jika calon yang kalah tidak menerima kekalahan itu, kemudian karena kecewa menggerakkan masa untuk memukuli para pendukung calon kepala desa/bupati/wali kota terpilih, jelas ini bukan merupakan perilaku dari budaya demokrasi tetapi budaya otoriter. Dengan demikian, perilaku budaya demokrasi itu sebenarnya merupakan cermin dari pengetahuan, sikap dan penilaian yang positif terhadap sistem politik demokrasi, sehingga sikap dan perilaku merupakan pengamalan prinsip atau nilai-nilai demokrasi.

Atas dasar pengertian budaya politik  di atas, Almond dan Verba mengajukan tiga tipe budaya politik, yaitu tipe parohial (awak), subjek (kaula), dan partisipan. Orang/masyarakat yang bertipe budaya politik parohial bercirikan tidak memiliki orientasi/pandangan, baik berupa pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi) dan penilaian (evaluasi) terhadap objek politik (sistem politik). Ini berarti yang bersangkutan bersifat acuh tak acuh terhadap objek politik. Objek politik yang paling utama adalah pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Contoh objek politik yang lain adalah pemilihan Kepala Desa, pemilihan anggota BPD, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota), pemilu DPRD, DPR, DPD dan Presiden, partai politik, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, dst. Tetapi meskipun tidak/kurang peduli terhadap objek politik, orang/masyarakat yang bertipe budaya politik parohial, tetap peduli terhadap nilai-nilai primordial seperti adat istiadat, etnis dan agama. 

Sedangkan orang/masyarakat yang bertipe budaya politik subjek, memiliki karakteristik memiliki orientasi terhadap output (hasil/pelaksanaan kebijakan publik) yang sangat tinggi, tetapi orientasi terhadap input (pembuatan kebijakan publik) dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik sangat rendah. Ini berarti dalam tipe budaya politik subjek, kepatuhan/ketaatan yang tinggi terhadap berbagai peraturan pemerintah tetapi tidak disertai sikap kritis (menunjukkan kelemahan dan kekuatan/kebaikan suatu peraturan). Kemudian tipe budaya politik partisipan, bercirikan di mana seseorang/masyarakat memiliki orientasi terhadap seluruh obyek politik secara keseluruhan (input, output) dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik.

Dalam kenyataan, sulit ditemukan seseorang/masyarakat atau suatu bangsa berbudaya politik menurut satu tipe tertentu. Misal, hanya berbudaya politik partisipan, atau subjek atau parohial. Yang kita temukan dalam kenyataan budaya politik seseorang/suatu masyarakat atau bangsa bersifat campuran. Ini berarti dalam masyarakat dapat kita temukan budaya politik campuran: parohial – subjek; subjek – partisipan; parohial – partisipan.

Bila dicermati,  budaya politik campuran yang cocok dengan sistem politik demokrasi adalah budaya politik campuran seimbang antara partisipan, subjek, dan parohial. Oleh karena itu budaya politik politik campuran tersebut dikenal sebagai budaya demokrasi atau budaya kewarganegaraan (civic culture). Dengan demikian budaya demokrasi bercirikan adanya keterlibatan politik secara rasional yang diimbangi dengan kepatuhan pada kebijakan publik/pemerintah dan keterikatan pada nilai-nilai primordial (suku, agama, dan adat istiadat). 

Dengan rumusan lain, budaya demokrasi merupakan keterpaduan antara pengetahuan, sikap dan perilaku sebagai berikut:
1.       Memiliki informasi yang cukup mengenai obyek politik (sistem politik)
2.       Aktif terlibat dalam masalah-masalah publik
3.       Rasional (tidak emosional)
4.       Percaya dan patuh terhadap pemerintah
5.       Percaya terhadap sesama warga negara
6.       Memiliki keterikatan pada keluarga, suku, dan agama.

Memiliki informasi yang cukup tentang obyek politik, terutama pengetahuan tentang lembaga politik dan fungsinya, baik di tingkat pemerintahan lokal (desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi) dan pemerintahan nasional (pemerintah pusat). Pemilikan informasi ini penting sebagai dasar bagi pengembangan sikap/kepercayaan terhadap objek politik dan keterlibatan secara aktif dalam masalah-masalah publik.

Aktif terlibat dalam masalah-masalah publik merupakan cermin adanya kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepedulian itu diwujudkan dalam bentuk ikut serta berusaha masalah-masalah kehidupan masyarakatnya. Misalnya, kepedulian itu dilakukan dengan cara memberikan masukan (input) terhadap pembuatan dan atau perbaikan kebijakan publik.

Rasional (tidak emosional) dimaksudkan dalam bersikap dan bertindak dilandasi oleh pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Pemikiran yang didasarkan pada perhitungan dapat memenuhi kepentingan diri dan masyara-katnya. Misalnya, dalam memberikan suara dalam suatu pemilihan ( bisa pemilihan: ketua OSIS, ketua pemuda, lurah/kepala desa, bupati/wali kota, anggota DPR/DPRD, DPD, dan presiden), dasar pertimbangan yang digunakan adalah karena calon yang dipilih mempunyai program yang dapat memenuhi kepentingan pemilih dan kemajuan masyarakat. Program yang ditawarkan misalnya, meningkatan pendidikan yang berkualitas dan dapat dinikmati oleh setiap warga negara, membrantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan mengatasi kemiskinan dengan menciptakan peluang kerja yang seluas-luasnya.
Sedangkan  perilaku memilih yang emosional , dasar pertimbangan yang digunakan bukan pada kemampuan dan program yang ditawarkan oleh calon, tetapi misalnya karena masih ada hubungan keluarga, masih satu suku, teman sejak kecil/sekampung, tidak ingin berbeda pilihan dengan lingkungan masyarakatnya, telah memberikan sesuatu/uang.


B. Penerapan Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Berdemokrasi seperti dikemukakan pada uraian sebelumnya, terutama diterapkan dalam kehidupan politik. Namun tidak kalah pentingnya adalah penerapan demokrasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Hal itu disebabkan antara kehidupan politik, sosial dan ekonomi saling berpengaruh satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang yang telah terbiasa bersifat terbuka dalam keluarga dan dengan tetangga, maka kebiasaan keterbukaan itu bisa terbawa ketika ia bersangkutan menjadi pimpinan politik/pemerintah dan dalam berdagang.

Oleh karena itu, budaya demokrasi dalam kehidupan sehari – hari bisa ditemukan dalam aktivitas manusia dalam berbagai ruang lingkup kehidupan.  Ruang lingkup kehidupan manusia di mana kita dapat menemukan budaya demokrasi, misalnya di keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintahan.

Kehidupan keluarga yang menerapkan budaya demokrasi antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut:
1.  Saling percaya atau tidak saling curiga antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.
2.   Melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan bersama/keluarga.
3.   Mematuhi aturan dalam keluarga dan orang tua sebagai pimpinan dalam keluarga , akan tetapi tetap bersikap kritis.
4.   Perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap anak, baik atas dasar jenis kelamin maupun atas dasar kondisi anak, misalnya cacat fisik, mereka diperlakukan secara adil.
5.   Toleransi terhadap perbedaan pendapat, sejauh tidak merusak hubungan yang harmonis dalam keluarga.
6.   Menghargai kebebasan masing-masing, akan tetapi tidak sampai merusak hubungan yang harmonis maupun tujuan membangun suatu keluarga.

Sedangkan penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan masyarakat antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut:
1.   Menghargai pluralisme, sehingga menyikapi perbedaan/konflik sebagai sesuatu yang wajar dan mengelolanya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.
2.   Menentukan pemimpin dengan cara pemilihan yang melibatkan anggota masyarakat
3.   Ada kepercayaan akan persamaan hak, yang tercermin dengan tidak adanya perlakuan diskriminatif atas dasar kaya-miskin, pangkat-tidak berpangkat, laki-laki dan perempuan.
4.   Melibatkan warga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama (termasuk anak-anak pun sebagai bagian dari masyarakat diikut-sertakan/didengarkan aspirasinya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya).
5.   Menghargai kreativitas warga untuk mengembangkan potensinya dalam berbagai bidang.
6.   Ada kebebasan warga untuk memperoleh informasi yang menyangkut persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Contoh lain penerapan budaya demokrasi dalam masyarakat, misalnya di sekolah. Contoh pada kasus pembuatan peraturan sekolah adalah:
1.   Kepala sekolah dalam membuat peraturan sekolah melibatkan/mendasarkan aspirasi dari kalangan siswa/OSIS, guru, dan karyawan, serta orang tua siswa, bahkan perwakilan masyarakat di lingkungan sekolah/komite sekolah.
2.   Setelah peraturan sekolah diambil keputusan, maka semua pihak harus mematuhi, namun tetap harus kritis
3.   Apabila peraturan sekolah tersebut dinilai tidak aspiratif, maka para siswa atau yang lain bisa memberikan masukan kepada Kepala Sekolah untuk dilakukan perbaikan-perbaikan.

Penerapan budaya demokrasi di sekolah, dapat dicontohkan pada kasus belajar di kelas. Misalnya adalah:
1.   Guru terbuka untuk menerima kritikan, bahkan protes yang membangun dari siswa, sehingga proses belajar melahirkan partisipasi belajar yang tinggi dari siswa.
2.   Siswa mematuhi tata tertib di kelas, namun juga tetap kritis.
3.   Saling menghargai perbedaan pendapat.
4.   Di kelas ada kebebasan menunjukkan identitas budaya masing – masing, untuk mengembangkan saling memahami bahwa kita hidup dalam kemajemukan (misalnya : biarkan siswa dari Suku Batak menampakkan logat bicaranya, jangan mengejek mereka apalagi memaksa  menyesuaikan dengan logat Suku Jawa, karena sekolah di Jawa atau sebaliknya. Begitu pula dalam ekspresi identitas yang lain).
5.   Tidak ada perlakuan diskriminatif di kelas karena alasan perbedaan jenis – kelamin, kaya-miskin, maupun agama.
6.   Ada saling percaya/tidak saling curiga di antara guru siswa; siswa dengan siswa, sehingga setiap terjadi perbedaan atau konflik mudah diselesaikan secara konsensus.

Bagaimana contoh penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dalam pemerintahan? Dalam pemerintahan dapat dicontohkan antara lain:
1.   Unjuk rasa yang dilakukan rakyat /masyarakat ditujukan kepada pemerintah. Misalnya setiap ada keputusan pemerintah untuk mmenaikkan harga BBM, maka akan disambut dengan unjuk rasa, karena kenaikan itu akan diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain yang berakibat semakin memberatkan beban perekonomi masyarakat.
2.   Masyarakat mendatangani DPR/DPRD untuk mengadukan berbagai masalah kebijakan yang merugikan mereka, seperti : masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penggusuran, UMR (Upah Minimum Regional) yang dibawah standar.
3.   Memberikan suara dalam pemilihan anggota BPD, kepala desa; ketua RT/RW.
4.   Musyawarah untuk melakukan kerja bakti untuk membersihkan dan memelihara kelestarian lingkungan hidup untuk menjaga kesehatan dan mengurangi bahaya banjir serta kerusakan alam.
5.   Menyatakan pendapat untuk melakukan kontrol kepada pemerintah melalui surat pembaca di surat kabar.

C.  Pentingnya Pemimpin yang Beriman, Bermoral, Berilmu, Terampil dan Demokratis

Tugas utama pemimpin adalah memimpin orang yang dipimpin. Memimpin berarti kemampuan atau ketrampilan dalam memberikan pengarahan dan contoh tauladan kepada yang dipimpin (orang lain, kelompok, masyarakat/rakyat) dalam melaksanakan kegiatan/program dalam rangka mewujudkan tujuan bersama. Untuk dapat melaksanakan tugas memimpin tersebut, menurut Roeslan Abdul Gani, pejuang kemerdekaan dan tokoh nasional,  pemimpin harus memiliki kelebihan dari yang dipimpin. Kelebihan itu meliputi:
1.   Kelebihan dalam moral dan akhlak
2.   Kelebihan dalam jiwa dan semangat
3.   Kelebihan dalam ketajaman intelek dan persepsi
4.   Kelebihan dalam ketekunan dan keuletan jasmaniah dalam menjalankan tugasnya.

Kelebihan-kelebihan tersebut di atas penting agar seorang pemimpin terjaga kewibawaannya dan terpelihara ketaatan dari yang dipimpin.
         
Max Weber, seorang sosiolog dari Barat membagi kewibawaan berdasarkan kharisma, tradisi, relegi, dan intelektual. Kewibawaan berdasarkan kharisma, maksudnya seorang akan memiliki kewibawaan bisa  karena dianggap memiliki keistimewaan yang lebih dibandingkan orang lain. Keistimewaan itu bisa berupa kekuatan fisik atau kekuatan magis yang luar biasa. Kewibawaan berdasarkan tradisi, ia berwibawa karena memiliki garis keturunan dari orang-orang besar. Kewibawaan berdasarkan relegi, ia berwibawa karena posisinya sebagai tokoh agama (kyai, pendeta, pastor, biksu, pedende, dan seterusnya). Sedangkan kewibawaan berdasarkan intelektual, kewibawaan ini muncul karena pemilikan pengetahuan dan ketajaman dalam berpikir yang dimiliki seseorang. Seorang pemimpin akan semakin kuat kewibawaannya apabila bisa mengembangkan sumber-sumber kewibawaan di atas. Artinya, di samping seseorang pemimpin misalnya memilki kewibawaan berdasarkan intelektual, juga memiliki kewibawaan berdasarkan kharisma, tradisi, dan relegi.
         
Pemimpin seperti apa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia yang majemuk, relegius, dan sedang berkembang agar menjadi masyarakat yang maju dan sedang mengembangkan kehidupan yang demokratis? Untuk dapat memenuhi kebutuhan di atas, maka diperlukan  pemimpin yang beriman, bermoral, berilmu, terampil dan demokratis.

1.   Pemimpin yang Beriman         
Pemimpin yang beriman adalah pemimpin yang memiliki kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan ini penting sebagai pengendali agar tindak tanduknya sebagai pemimpin selalu berhai-hati, agar tidak melakukan penyimpangan–penyimpangan. Sebab dalam diri orang beriman ada keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa senantiasa mengawasi tindakannya di mana pun dan kapanpun baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Kemudian juga ada keyakinan bahwa segala tindakannya  akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian iman merupakan kontrol paling kuat bagi seorang pemimpin untuk senantiasa berada pada jalur yang benar.

2.   Pemimpin yang Bermoral
Pemimpin yang bermoral adalah pemimpin dalam sikap dan tindakannya senantiasa berdasarkan nilai dan norma luhur/mulia yang berlaku dan dijunjungtinggi dalam masyarakatnya. Hal ini sangat penting, karena seorang pemimpin diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat/yang dipimpin. Misalnya pemimpin yang bermoral adalah yang jujur, menepati janjinya, dan adil.

3.   Pemimpin yang Berilmu
Pemimpin yang berilmu maksudnya yang dapat disajikan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup, di  bidang kehidupan yang dipimpinnya. Hal ini penting agar dalam melaksanakan tugas memimpin dilaksanakan berdasarkan informasi yang tepat/benar, sistematis, logis dan sesuai dengan kenyataan. Sehingga dengan pengetahuan yang dimliki seorang pemimpin ketika mengambil keputusan dalam memecahkan masalah bersifat rasional dan objektif. Terhindar dari pengambilan keputusan yang emosional, atas dasar suka/ tidak suka dan spekulasi (untung-untungan) yang dapat merugikan/membahayakan yang dipimpin. Dengan kata lain berikanlah kepemimpinan itu kepada ahlinya. Misalnya, seorang pemimpin dalam pemerintah (lurah/kepala desa, camat, bupati/wali kota, gubernur, presiden) harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bagaimana mengembangkan pemerintah, yang bersih dan dapat memberikan pelayanan publik secara maksimal.

4.   Pemimpin yang Terampil
Tugas utama seorang pemimpin adalah mengarahkan atau mempengaruhi agar yang dipimpin dengan senang hati untuk melakukan tindakan sesuai dengan tugas masing-masing sehingga tujuan bersama/organisasi dapat diwujudkan. Untuk itu pemimpin harus memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan baik, seperti menyampaikan pesan/informasi yang mudah diterima semua pihak. Juga  memiliki keterampilan melakukan koordinasi supaya berbagai kegiatan yang ada saling menunjang dalam mencapai tujuan. Di samping itu juga harus memiliki keterampilan memecahkan masalah sehingga berbagai persoalan yang dihadapi dalam bidang yang dipimpinnya dapat diatasi dengan baik.

5.   Pemimpin yang Demokratis
Pemimpin yang demokratis memiliki pandangan jauh ke depan (visi) terhadap perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih maju dan mensejahteraan masyarakat. Pemimpin yang demokratis bersifat terbuka, tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, menghormati perbedaan dan memandang perbedaan itu sebagai hal wajar, akan tetapi perbedaan/konflik itu ditoleransi sejauh dapat diselesaikan dengan damai/konsensus. Begitu pula pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang menjunjung tinggi persamaan derajat (tidak diskriminatif) dan juga mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) segala tugas kepemimpinannya kepada masyarakat.

D.      Konsekuensi Perilaku Kolusi, Korupsi, Nepotisme
Apakah KKN itu? Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang masuk dalam kategori kejahatan berat atau luar biasa yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintah yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik material maupun mental. Dengan kata lain korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh orang yang memiliki perangkat kekuasaan.

Kolusi adalah permufakatan atas kerjasama secara melawan hukum antara para penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain,masyarakat, dan atau negara. Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya.

Siapa penyelenggara negara itu? Secara sederhana yang dimaksud  Penyeleng-gara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian penyelenggara adalah Pegawai Negeri Sipil/Militer, dan Pejabat Negara. Oleh karena itu penyelenggara berarti dari Presiden sampai aparat yang paling bawah yaitu Lurah/Kepala Desa; dari anggota MPR sampai lembaga perwa-kilan paling bawah yakni BPD; dari Hakim Agung sampai Hakim Pengadilan Negeri.


Apa akibat dari KKN? Seperti dikemukakan di atas, bahwa korupsi  merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebab korupsi (corrupt), mengandung makna rusak total dalam karakter dan kualitas. Karena korupsi merupakan tindakan yang bercirikan tidak bermoral, curang, jahat, dan tidak jujur. Dengan demikian korupsi/KKN berakibat antara lain sebagai berikut:

1.   Merusak Moral Bangsa

Beberapa contoh rusaknya moral bangsa akibat KKN adalah sebagai berikut.

1)   Keadilan diperjualbelikan. Para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) mestinya dalam melaksanakan tugasnya harus menegakkan keadilan, akan tetapi karena  mau menerima suap maka yang dimenangkan adalah mereka yang mampu memberikan uang meski sebanarnya salah.
2)   Jual-beli posisi/jabatan. Untuk memperoleh pekerjaan atau menduduki jabatan tidak lagi diperlukan kerja keras untuk berprestasi. Sebab yang diperlukan siapa yang paling besar memberikan upeti/suap meski tidak berkemampuan, dialah yang akan menduduki posisi.
3)   Toleransi terhadap perilaku ilegal (melanggar hukum). KKN merupakan perilaku menyimpang baik dari kacamata hukum maupun moral. Tetapi karena KKN dilakukan secara bersama-sama, dan dinilai bermanfaat (fungsional) bagi para pelakunya maupun keluarga dan teman-temannya yang ikut menikmati, (meskipun sebenarnya sangat merugikan kepentingan umum/rakyat dan negara), maka dalam masyarakat telah berkembang sikap membiarkan terhadap penyimpangan ini. 

2.   Menjadi Kendala untuk Mewujudkan Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN

Misalnya, para pejabat/penguasa lebih mendahulukan kepentingan pribadi daripada negara, lembaga-lembaga pemerintah kehilangan akan kepercayaannya dari rakyat. Begitu pula lembaga-lembaga negara/pemerintah tidak dapat bekerja secara efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena anggaran menjadi berkurang sebab dikorupsi. Pegawai/pejabat pemerintah bukanlah orang-orang yang memiliki prestasi/berkualitas, karena mereka diterima sebagai pegawai dan menduduki posisi karena diperoleh karena suap (korupsi), masih keluarga, dan pertemanan.

3.   Membawa Bencana pada Perekonomian Nasional

Misalnya, rendahnya pemasukan negara, karena aset-aset negara yang penting dicuri dan berpindah ke tangan pribadi. Perusahaan-perusahaan besar yang berkolusi dengan penguasa dalam menguras keuangan negara akibat KKN menjadi kebal hukum. Kondisi ini juga berakibat semakin sulit untuk mengundang investor domistik maupun luar negeri untuk menanamkan modal bagi pengem-bangan dunia usaha. Karena banyaknya pungli (pungutan liar) dari mengurus ijin usaha, pelaksanaan produksi, dan pemasaran barang. Kita bisa mendengarkan keluhan para pelaku dunia usaha baik yang besar, menengah dan kecil merasakan beratnya pungli ini. Di kantor, di jalan, di pelabuhan, di pasar ada pungutan liar. Hal ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan yang paling menanggung beban berat adalah konsumen, karena harga barang menjadi sangat mahal. Akibat lebih lanjut karena tidak mampu bersaing, maka dapat mempercepat bangkrutnya dunia usaha.

4.   Semakin Sulit untuk Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Sejahtera

KKN merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi. Misalnya kemiskinan semakin meningkat, orang miskin tak mendapat pelayanan pemerintah, SDA (Sumber Daya Alam) yang seharusnya dikelola negara untuk kemakmuran bersama tetapi akibat adanya KKN maka hanya dinikmati oleh segelintir orang, sehingga menjadi sulit untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. SDA kini telah banyak yang hilang, mengalami erosi sehingga tak berkelanjutan, karena dana untuk program reboisasi dan pelestarian lingkungan juga banyak dikorupsi. Masyarakat pun merasakan tidak nyaman dalam menikmati infra struktur nasional seperti banyak jalan raya yang rusak, bangunan untuk kepentingan publik (gedung pemerintah, sekolah, dan saran pelayanan publik lain) yang mutunya rendah, transportasi umum yang tidak layak dan jauh dari cukup, serta pelayanan kesehatan yang tidak baik. Hal itu dikarenakan  dana yang mestinya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur di atas menjadi banyak berkurang sebab dikorupsi.

Melihat berbagai akibat KKN yang sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut di atas, maka sudah sepatutnya korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang berat. Sebagai kejahatan yang berat maka sudah  seharus-nya para koruptor itu  di hukum dengan hukuman yang berat. Juga  harus ditangani secara khusus, misalnya dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Kewenangan KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kewenangan ini misalnya antara lain: melakukan penang-kapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Untuk itu KPK memiliki tugas diantaranya yaitu:
1.   Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pembrantasan tindak pidana korupsi (misalnya: BPK, BPKP/Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah  Non-Departemen).
2.   Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pembrantasan tindak pidana korupsi.
3.   Melakukan penyilidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4.   Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
5.   Melakukan monitoring terhadap penyelenggara pemerintahan negara.

          Setiap warga negara maupun masyarakat memiliki peran serta dalam penyelenggaraan negara. Peran serta masyarakat dalam penyelengaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penye-lenggara negara yang bersih dari KKN. Peran serta masyarakat tersebut, dalam bentuk:
1.   Hak mencari atau memperoleh informasi tentang penyelenggara negara, misalnya dengan menanyakan bagaimana sebenarnya cara kerja dari instansi pemerintah tertentu.
2.   Hak memberikan informasi kepada instansi pemerintah tertentu, bahwa pada instansi tersebut telah terjadi KKN. Pemberian informasi ini, harus disertai mengenai:
a.   Nama dan alamat pemberi informasi dengan melampirkan fotokopi KTP atau identitas diri yang lain
b.   Keterangan mengenai fakta dan tempat kejadian yang diinformasikan
c.       Dokumen atau keterangan lain yang dapat dijadikan bukti.
3.   Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara. Maksudnya saran itu didasarkan pada:
a.   Fakta
b.   Menghormati hak-hak pribadi seseorang
c.   Menaati hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
4.   Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-hak di atas (nomor 1 hingga 3) maupun ketika diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
          Dalam hal pelaporan atau pencarian informasi mengenai KKN kepada KPK, maka KPK antara lain memiliki kewajiban:
1.   Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporannya ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
2.   Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya.

3.   Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada presiden, DPR, dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).


= Baca Juga =



2 Comments

Previous Post Next Post

Social Media